Sponsor

19 Jan 2010

Berpikir Positif Dengan daya Tahan Terhadap Stres

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Stres adalah sebuah kata yang sederhana yang sudah tidak asing lagi di ucapkan sehari-hari oleh setiap orang dan merupakan suatu kondisi yang dihindari oleh setiap orang. Stres adalah merupakan masalah yang menarik untuk selalu dibicarakan. Karena stres adalah kondisi jiwa dan raga, fisik dan psikis seseorang yang tidak berfungsi secara normal dan bisa terjadi pada setiap saat terhadap setiap orang tanpa mengenal jenis kelamin, usia, jabatan dan status sosial ekonomi. Dalam suatu perusahaan, stres dapat terjadi pada seorang direktur, menejer, supervisor, mandor bahkan pekerja biasa. Dalam sebuah keluarga, stres dapat menimpa suami, istri, anak bahkan pembantu rumah tangga. Dapat juga menyerang seorang bayi, anak-anak, remaja atau dewasa, baik pria atau wanita (Abbas, 2007).
Stres adalah hal yang melekat pada kehidupan siapa saja. Dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat dan ringan yang berbeda, dalam jangka panjang dan pendek yang tidak sama, pernah atau akan mengalaminya. Tidak ada seorangpun yang bisa terhindar dari stres (Hardjana, 1994).
Stres dapat melanda kita kapan saja, di mana perkembangan lingkungan kita akhir-akhir ini sangat mudah memancing timbulnya stres. Situasi yang cepat berubah dengan tingkat persaingan yang ketat, tuntutan pergaulan, pendidikan, pekerjaan ditambah dengan kondisi ekonomi yang sulit, membuat kita mudah menjadi stres.
Memasuki milenium baru kesejahteraan remaja menjadi suatu perhatian kita yang paling penting, karena mereka adalah masa depan masyarakat di manapun. Remaja yang tidak mencapai seluruh potensi mereka, yang memiliki takdir yang memberi kontribusi yang lebih sedikit pada masyarakat dari pada yang dibutuhkan masyarakat, dan yang tidak mengambil peran sebagai seorang dewasa yang produktif, adalah remaja yang mengurangi masa depan suatu masyarakat (Santrock, 2003). Remaja merupakan sumber daya manusia yang dimiliki masyarakat, oleh karena itu kwalitas sumber daya manusia perlu diperhatikan, karena akan menghambat perkembangan masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini kita bisa melihat beberapa kasus yang sering terjadi pada anak remaja khususnya pada siswa-siswi SMA dimana tingginya tingkat putus sekolah karena kurangnya kemampuan siswa-siswi untuk memahami atau berpikir secara positif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi sehingga sering membuat para siswa-siswi untuk mundur dan berhenti sekolah
Laju perkembangan zaman yang begitu cepat sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental, dimana para ahli kesehatan sepakat bahwa stres sangat berpengaruh pada gangguan kesehatan, hal ini sudah tampak pada gejala awal seseorang yang terkena stres.
Selanjutnya Atkinson, (1983) menyatakan bahwa individual yang sedang mengalami stres akan menunjukan reaksi fisik yang muncul sebagai respon stres tersebut seperti: otot-otot terasa tegang dan kaku, denyut jantung semakin kencang, tekanan darah makin tinggi dan pernapasan menjadi tidak teratur. Secara psikis situasi stres biasanya menghasilkan reaksi emosional yang bertingkat mulai dari yang rendah seperti, perasaan gelisah, cemas, marah, putus asa sampai mengalami depresi.
Harapan untuk hidup lebih produktif dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih, memberi dua sisi yaitu kemajuan dan belajar untuk menghadapi stres yang di ciptakannya. Belajar untuk berhadapan dengan banyak pilihan yang ditawarkan oleh kemajuan tekhnologi, baik dalam karir, gaya hidup, hiburan dll. Sering kali individu di tawarkan dengan lebih banyak pilihan dibanding dengan kemampuan individu itu sendiri memahami secara efektif, apalagi harus mendaya gunakan secara efektif semua tekhnologi yang ada. (Scala, 2003).
Masa remaja adalah masa stres dan strain (Masa kegoncangan dan kebingbangan) yang mengakibatkan para remaja melakukan penolakan-penolakan pada kebiasaan di rumah, sekolah serta mengasingkan diri dari kehidupan umum, membentuk kelompok untuk geng, bersifat sentimental, mudah tergoncang dan bingung. (Harlock,1991). Saat mulai menginjak masa remaja merupakan saat yang cukup menyibukan bagi sebagian orang tua karena kegiatan remaja semakin banyak, sehingga para remaja sering keluar rumah dengan segala alasan. Hal ini sering menimbulkan konflik antara orang tua dan anak. Selain itu perkembangan teknologi yang semakin canggih menempatkan orang tua dan anak dalam situasi yang sering konflik, karena tuntutan remaja yang macam-macam. Konflik antara orang tua dengan remaja sering menimbulkan stres pada remja (Montemayor, dalam Santrock, 2003). Hawari (dalam Abbas, 2007) menyatakan stres adalah sebagai reaksi fisik dan psikis, yang berupa perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan terhadap tekanan atau tuntutan yang sedang dihadapi, akibat dari persepsi yang kurang tepat terhadap sesuatu yang dianggap sebagai ancaman bagi keselamatan dirinya. Lazarus dan Folkman (dalam Abbas, 2007) menambahkan bahwa stres terjadi karena tidak adanya keseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan atau dengan kata lain bahwa jika tuntutan lebih besar dari kesanggupan seseorang melakukannya maka dia akan mengalami stres.Untuk menguasai keadaan stres dibutuhkan usaha besar, dan usaha ini sering terjadi ketidak berhasilan, sehingga mengakibatkan kecemasan, penyakit bahkan kematian. Stres merupakan hal yang rumit, kompleks karena itu stres dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Seperti kasus dibawah ini:
“Saya Alan 16 tahun. Saya tidak pernah mengira bahwa sulit sekali untuk tumbuh dewasa. Saya merasakan banyak tekanan. Orang tua saya banyak memberi tekanan kepada saya. Mereka bilang bahwa mereka tidak pernah menekan saya, tapi sebenarnya mereka melakukannya. Saya takut membawa rapot pulang dengan nilai yang tidak bagus. Mereka menginginkan saya sempurna. Setiap hari saya merasa cemas untuk mencapai sesuatu. Saya ingin saya mampu masuk kampus yang bagus, tapi saya tidak tahu apakah hal itu cukup setimpal dengan segala perasaan cemas dan gugup yang saya rasakan di dalam diri saya. Saya tidak ingin memiliki perasaan seperti ini. Kadang-kadang, jantung saya mulai berdebar sangat cepat ketika saya gugup, dan saya tidak selalu berhasil menenangkan diri saya. Saya ingat ketika saya duduk di bangku SD saya jauh lebih bahagia. Saya tidak terlalu memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, dan saya lebih menyenangkan bagi teman-teman di sekitar saya. Persaingan nilai-nilai tidak seketat sekarang. Selama beberapa tahun terakhir, saya menyadari betapa semakin besarnya usaha yang harus dilakukan agar memperoleh nilai bagus. Saya harap seseorang dapat membantu saya menghadapi semua tekanan ini dengan lebih baik. (Santrock, 2003)”
Saat ini pendidikan menjadi prioritas utama bagi orang tua untuk anak-anaknya, sekedar lulus tidak memuaskan dan kegagalan anak adalah sebuah duka cita bagi orang tua. Keunggulan akademik anak yang dikejar orang tua, sehingga banyak tuntutan dan tekanan-tekanan untuk menunjukan prestasi dan keunggulan. Dalam kondisi persaingan akademik yang semaki meningkat yang telah menambah tekanan sehari-hari yang sudah dihadapi remaja. Akibatnya mereka semakin terbebani lebih banyak tekanan dan tuntutan dan hal tersebut menimbulkan stres pada remaja (Laioon, 2007)
Hal yang menjadi sumber stres bisa berupa kejadian seperti bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, angin ribut, banjir dll). Bisa juga berupa peristiwa hidup baik yang berhubungan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Berhubungan dengan diri sendiri (menghadapi ujian akhir dalam studi, mencari kerja, menderita sakit yang berkepanjangan, vonis dokter penyakit yang berbahaya, dll), berhubungan dengan orang lain, ditinggal oleh orang yang dikasihi, meninggal anggota keluarga terdekat, lingkungan tempat tinggal yang kumuh, atau lingkungan yang dirasa mengancam atau merugikan, dll (Hardjana, 1994).
Stres juga dapat bersumber oleh adanya pemaksaan kedewasaan premature terhadap remaja zaman sekarang yang akhirnya bisa mempengaruhi hidup mereka yaitu; pertama, karena remaja butuh suatu periode waktu dimana mereka merasa dilindungi dan adanya rasa aman tinggal di lingkungan sehingga bisa membangun identitas pribadi mereka, maka jika tidak adanya periode ini bisa merusak penemuan jati diri yang sangat penting. Memiliki suatu identitas pribadi berarti memiliki suatu rasa penghargaan diri yang muncul dan memberi arti untuk masa depan. Suatu perasaan diri yang aman yaitu identitas pribadi yang mantap biasanya bisa menjadikan remaja mampu mengatasi tuntutan dari dalam dan luar dengan konsisten dan efesien. Kedua, tingkat stres yang tinggi yaitu kenyataan bahwa zaman sekarang remaja lebih mudah mengalami stres di banding remaja generasi-generasi sebelumnya.

Stres yang di maksud disini ada tiga tipe yaitu
1. Remaja diuji dengan lebih banyak kebebasan dibanding dengan remaja generasi sebelumnnya. Kurangnya perhatian orang tua terhadap remaja membuat remaja memiliki banyak kebebasan dalam melakukan apapun yang ia inginkan baik itu bersifat positif maupun bersifat negatif. Sedangkan remaja generasi sebelumnya banyak di pengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat sehingga remaja tidak memiliki banyak kebebasan dalam melakukan apa yang mereka inginkan.
2. Mereka sedang banyak mengalami kehilangan, dalam hal rasa aman yang mendasar dan harapan masa depan dan generasi sebelumnya tidak mengalami hal ini. Dalam hal ini karena tingkat persaingan dan kebutuhan yang semakin meningkat menimbulkan tekanan-tekanan bagi remaja sehinga banyak mengalami kehilangan dan rasa aman.
3. Mereka harus mengatasi frustasi dalam upaya mempersiapkan sebagian pekerjaan mereka di sekolah yang bukannya membantu namun akhirnya menghambat tercapainya tujuan mereka. Banyaknya tuntutan dari orang tua, guru, lingkungan dan tugas-tugas dari sekolah membuat remaja tidak memiliki waktu untuk bermain dan mengerjakan hal-hal yang mengembangkan potensinya.
Ketiganya menuntut kemampuan remaja untuk bisa beradaptasi dengan tuntutan dan situasi-situasi baru, dan ketika hal tersebut tidak biasa meraka hadapi maka akan menimbulkan konflik di dalam diri mereka yang akhirnya menimbulkan stres (Hewit, 2003)
Tanggapan orang terhadap sumber stres dapat menjadi gejala pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan ini disebut dengan strain yaitu tekanan atau ketegangan. Orang yang mengalami stres secara psikologis yaitu menderita tekanan dan ketegangan yang membuat pola pikir, emosi dan perilaku kacau, menjadi gugup dan gelisah (nervous). Secara fisiologis yaitu kegugupan dan kegelisahan menggejala pada denyut jantung cepat, perut mual, mulut kering, keringat yang mengucur di sekujur tubuh (Hardjana, 1994)
Penilaian individu terhadap stres di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pribadi dan situasi. Faktor pribadi meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian. Unsur intelektual menyangkut sistem berpikir. Menurut (Gunarsa, 1994) berpikir itu mudah bila tidak menggunakan akal dan tidak memperhatikan fakta.
Berpikir adalah berbicara dengan diri sendiri di dalam batin. Berpikir yang baik sering disebut dengan berpikir logika. Dengan berpikir logika kegiatan akal mengelola ilmu pengetahuan yang disaksikan atau diterima dan ditujukan untuk mencapai kebenaran. Jadi berpikir adalah bertujuan untuk mencapai kebenaran yang terarah dengan menggunakan akal yang sehat (Marhiyanto,1987). Seseorang yang memandang positif ketika datangnya stres itu akan lebih mampu untuk menghadapinya dan lebih memiliki daya tahan untuk menghadapi stres dibanding dengan individu yang berpikir negatif dan lari dari keadaan tersebut. Berpikir positif berarti memusatkan pikiran dan perhatian hanya pada hal-hal yang positif dan menyenangkan, sebaliknya tehadap sisi negatif bisa menerima dengan lapang dada dan menganggapnya sebagai hal yang alami yang tidak terelakkan. Sebaliknya berpikir negatif memusatkan pikiran dan perhatian ke hal-hal yang negatif, dimana tindakan-tindakan akan bersifat negatif terhadap lingkungan sekitarnya.
Berpijak dari kenyataan bahwa perasaan stres yang dialami seseorang ternyata lebih disebabkan oleh pikiran dan perasaan dalam menghadapi stresor kehidupan. Kecenderungan berpikir seseorang baik positif maupun negatif akan membawa pengaruh terhadap penyesuaian dan kehidupan psikisnya (Goodhart, 1985). Dimana orang cenderung berpikir negatif, pesimis dan irasional akan lebih mudah terserang stres dari pada mereka yang berpikir positif, rasional dan optimis (Hardjana, 1994).
Dari uraian diatas dapat dilihat beberapa kasus yang sering terjadi pada anak remaja khususnya pada siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah dimana tingginya tingkat putus sekolah karena kurangnya kemampuan siswa-siswi untuk memahami atau berpikir secara positif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi sehingga sering membuat para siswa-siswi untuk mundur dan berhenti sekolah.
Dalam hal ini peneliti ingin melihat bagaimana seorang siswa-siswi SMA ketika menerima banyaknya tugas-tugas sekolah yang dibebankan kepada mereka, dengan tingkat maturitas (kematangan) yang tidak sama, tingkat pengetahuan atau intelegensi yang tidak sama dan tingkat perekonomian yang tidak sama, apakah hal-hal tersebut membuat para siswa-siswi tidak mampu untuk berpikir positif atau malah sebaliknya, dengan ini semua siswa-siswi tetap mampu berpikir positif serta memiliki daya tahan terhadap stres. Karena setiap hari para guru memberikan tugas-tugas kepada muridnya, yang membuat para siswa-siswi harus belajar dengan ekstra dan dalam hal ini sering para siswa-siswi merasa tertekan karena banyaknya tugas-tugas yang harus diselesaikan dari sekolah apa lagi ketika tugas itu tidak dapat diselesaikan oleh para siswa-siswi, maka akan memicu stres pada individu yang tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Jadi dalam kondisi seperti ini seorang siswa atau siswi diharapkan mampu berpikir positif untuk dapat menanggapi kondisi dengan baik, sehingga pada akhirnya kondisi tersebut tidak membuat para siswa-siswi menjadi berpikiran negatif dengan merasa tidak mampu dan muncul sikap-sikap seperti tidak masuk kelas pada jam-jam tertentu, malas pergi ke sekolah sampai pada akhirnya putus sekolah. ( observasi dan wawancara, tgl 27April 2008, jam 09.00 sd 12.00 Wib)
Dengan membentuk sikap positif terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, akan membuat seseorang melihat keadaan tersebut secara rasional, tidak mudah putus asa ataupun menghindar dari keadaan tersebut tetapi justru akan mencari jalan keluarnya (Peale, 1977). Dengan demikian orang tersebut akan mempunyai mental yang kuat yang membantunya dalam menghadapi stresor kehidupan.
Stres pada seseorang belum tentu merupakan stres bagi orang lain. Apabila individu yang mengalami stres mempunyai penyesuaian yang baik, maka individu tersebut dapat mengatasi stres yang dialaminya. Tetapi jika penyesuaian individu itu tidak baik, maka individu tersebut dapat terganggu kehidupannya dan cenderung mengalami depresi (Prabandari, 1989). Selanjutnya Rahmat, (1989) menyatakan bahwa karateristik individual yang berbeda menyebabkan tingkat stres setiap orang juga berbeda, dalam hal ini yang dimaksud dengan karateristik adalah jenis kelamin pria dan wanita. Dimana berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa pria lebih memiliki daya tahan terhadap stres di banding dengan wanita, (Hasmayni,2000)
Cara seseorang memandang suatu peristiwa yang dialaminya atau cara berpikirnya berkaitan erat dengan faktor kepribadian, dan salah satu unsur yang penting dalam pembentukan perilaku seseorang karena berpengaruh pada proses berpikir, emosi, keinginan, nilai dan tujuan hidup seseorang (Branden, 1980).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Berpikir Positif Dengan Daya Tahan Terhadap Stres Pada Siswa/I SMA Negeri 1 Tiga Panah“


B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan membuktikan apakah ada hubungan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres pada siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah.

C. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan manfaat secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian ilmiah bagi masyarakat dan mahasiswa dalam menambah perbendaharaan ilmu psikologi secara umum dan khususnya dalam psikologi perkembangan dan klinis tentang masalah berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres pada remaja.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi informasi sebagai bahan masukan bagi para siswa-siswi untuk memiliki konsep berpikir positif agar terhindar dari stres. Dengan demikian ketika para siswa-siswi mengalami suatu permasalahan tidak mengambil suatu solusi yang salah namun mampu menyelesaikannya dengan solusi yang benar. Bagi pihak lembaga pendidikan (sekolah) dan orang tua (keluarga) akan pentingnya berpikir positif dalam menghadapai suatu permasalahan sehingga tidak menimbulkan stres, berpikir positif merupakan faktor penghambat terjadinya stres sehingga remaja terhindar dari stres.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Daya Tahan Terhadap Stres
1. Pengertian Daya Tahan Terhadap Stres
Batas daya tahan terhadap stres pada penelitian ini mengacu kepada konsep stres yang dikemukakan oleh Cridder, dkk (1983). Stres diartikan sebagai suatu bentuk khusus dari gangguan psikologis dan reaksi-reaksi fisiologis, yang terjadi apa bila stresor mengancam motif-motif dasar dan mengganggu kemampuan individu dalam beradaptasi dengan stresor yang ada. Berdasarkan defenisi stres tersebut, maka yang dimaksud dengan daya tahan terhadap stres dalam penelitian ini adalah kemampuan atau ketahanan individu dalam memberi perlawanan terhadap stresor yang mengancam dan mengganggu kehidupan yang termanifestasi dalam bentuk reaksi tehadap stres yang dapat bersifat fisologis dan psikologis.
Menurut Nixon (dalam Brodjonegoro, 1988), daya tahan terhadap stres itu ada batasnya dan batas ini pada setiap orang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor somato-psikososial, seperti maturitas (kematangan dari individu yang bersangkutan), pendidikan dan status ekonomi, tipe kepribadian, keadaan fisik, sosio budaya dan lingkungan dimana individu itu berada.
Cohen dan Milgram (dalam Sarwono, 1992) menyatakan bahwa stresor diterima oleh penerima sistem pengelola informasi pada manusia yang berkapasitas terbatas. Banyak rangsangan yang masuk dalam sistem pengelola informasi menyebabkan sistem ini terlalu penuh (Over Load) dan akan menyebabkan individu melakukan strategi tertentu untuk menghadapi stresor itu. Berdasarkan defenisi di atas maka yang dimaksud dengan daya tahan terhadap stres adalah kemampuan seseorang untuk mengabaikan stresor dan dengan mencoba menyerang atau menerimanya sehingga individu yang bersangkutan tersebut melakukan penyesuaian diri terhadap stresor tersebut.
Setiap individu mempunyai perbedaan dalam memulihkan kondisi dari situasi stres. Ada individu yang mudah dan cepat pulih kembali, dan tahan terhadap stresor yang datang. Akan tetapi banyak juga yang sulit melakukan dan melepaskan diri dari situasi yang baru saja dialami (Handoko, 1995).
Selanjutnya Handoko (1995) mengatakan bahwa berdasarkan reaksi individu terhadap situasi stres, dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe A dan tipe B, individu dengan tipe A adalah mereka yang agresif dan kompetitif, menetapkan standard kerja yang tinggi dan meletakan diri dibawah tekanan waktu yang konstan. Dan individu dengan tipe A, ini akan lebih besar kemungkinannya untuk menghadapi masalah yang berhubungan dengan stres dan tidak ada kemampuan untuk menghadapi stresor yang mengancam kehidupanya. Individu dengan tipe B adalah lebih rileks dan tidak suka menghadapi masalah, menerima situasi-situasi yang ada dengan bekerja dengan tekanan waktu relatif yang sedang. Tipe ini lebih kecil kemungkinanya menghadapi masalah yang berhubungan dengan stres dan memiliki ketahanan diri dalam menghadapi stresor yang muncul.
Lebih lanjut Hardjana (1994) mengatakan daya tahan terhadap stres adalah kemampuan individu untuk menyimpulkan bahwa hal yang menimbulkan stres itu tidak berarti apa-apa bagi kesejahteraannya, juga mampu menyimpulkan bahwa peristiwa yang dapat mendatangkan stres itu ternyata baik dalam mendatangkan keuntungan baginya, dan kemampuan menerima keadaan yang mendatangkan stres.
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan daya tahan terhadap stres adalah kemampuan atau ketahanan individu dalam memberi perlawanan terhadap stresor yang mengancam dan mengganggu kehidupannya yang termanifestasi dalam bentuk reaksi terhadap stres yang dapat bersifat fisiologis dan psikologis, serta adanya kemampuan individu untuk mengabaikan dan dengan mencoba menyerang atau menerimanya sehingga individu yang bersangkutan melakukan penyesuaian diri terhadap stresor, memiliki ketabahan dan kesanggupan dalam menghadapi kesulitan, masalah yang dapat menimbulkan stresor serta memiliki gaya hidup yang rileks dan santai.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Tahan Terhadap Stres.
Conger dkk (dalam Santrock, 2003) ada tiga faktor yang membuat seorang remaja memiliki daya tahan terhadap stres yaitu:
a. Keterampilan kognitif (perhatian, pemikiran reaktif) dan respon positif terhadap orang lain.
b. Keluarga, termasuk mereka yang hidup dalam kemiskinan, ditandai dengan adanya kehangatan, keterikatan satu dengan yang lain, ada orang dewasa yang memperhatikan seperti kakek dan nenek yang bertanggung jawab meskipun tidak ada orang tua yang memberi perhatian kepada anak karena terjadi perselisihan hebat dalam pernikahan mereka.
c. Ketersediaan sumber dukungan eksternal, seperti ketika keinginan yang kuat terhadap tokoh ibu dapat dipenuhi oleh guru, tetangga, orang tua teman dan orang-orang yang ada di sekitar lingkungannya.
Sofia (dalam Sarapino, 1991) mengatakan kemampuan seseorang untuk menghadapi stresor yang datang di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah struktur kognitifnya, pada manusia struktur kognitifnya berfungsi untuk menyaring, menginterpretasi dan mengevaluasi setiap stimulus objektif maupun subjektif yang ada. Bila individu menilai situasi atau kenyataan yang dihadapi sebagai sesuatu yang tidak membahayakan, maka stres tidak akan muncul dan ketika stres itu muncul ia mampu menghadapinya.
Cohen, dkk (dalam sarapino, 1991) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi daya tahan terhadap stres adalah faktor pribadi dan faktor situasi. Faktor pribadi meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian. Individu yang berpikir positif, optimis dan berpikiran rasional akan memiliki daya tahan terhadap stresor yang mengancam kehidupannya. Sedangkan faktor situasi dapat muncul dalam hal-hal tertentu, misalnya orang memikul tuntutan berat dan mendesak, seperti ketidakmampuan mengerjakan suatu tugas yang diberikan, individu yang melihat hal itu bukan suatu tekanan akan mampu menghadapi dengan penuh antusias dan tanggung jawab.
Dengan demikian dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya tahan terhadap stres adalah:
Faktor dari individu itu sendiri yang meliputi, keterampilan kognitif, keluarga, ketersediaan sumber dukungan eksternal, faktor pribadi dan faktor situasi. Faktor pribadi meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian, sedangkan faktor situasi dapat muncul dalam hal-hal tertentu, misalnya orang yang memikul tuntutan berat dan mendesak.

3. Ciri-Ciri Daya Tahan Terhadap Stres
Cohen dan Milgram (dalam Sarwono,1992) mengatakan bahwa ciri-ciri untuk memiliki daya tahan terhadap stres adalah mampu mengabaikan stresor dan usaha untuk menyerang atau menerimanya dan akhirnya individu tersebut mampu menyesuaikan diri terhadap stresor tersebut.

Hardjana (1994) mengatakan bahwa ciri-ciri untuk memiliki daya tahan terhadap stres adalah:
a. Pengendalian dan rasa percaya diri yaitu, merasa mampu mengendalikan dan mengatur diri, hidup dan lingkungannya, serta secara aktif mempengaruhi lingkungan, mampu mengatasi kesulitan dan memecahkan masalah-masalah hidupnya, memiliki pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan kekuatan untuk menghadapi tantangan.
b. Keterlibatan dan rasa bertujuan yaitu, hidup yang penuh dengan arah, keyakinan dan gairah, ikut serta dalam kegiatan masyarakat baik formal maupun non formal.
c. Tantangan yaitu, tidak mudah menyerah, mundur atau putus asa, memiliki kekuatan untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah atau tantangan yang dihadapi.
Menurut Handoko (1995), ciri-ciri untuk memiliki daya tahan terhadap stres adalah rileks, tidak suka menghadapi masalah, menerima situasi-situasi yang ada, bekerja dengan tekanan waktu relatif sedang. Memiliki ketabahan dan ketangguhan, mampu menghadapi dan menerima kesukaran, kesulitan, masalah dengan tabah. Tidak mudah goyah, bimbang, takut dan kehilangan nyali. Tangguh mengalami tekanan, penderitaan dan kemalangan, tidak mundur dan putus asa menghadapi cobaan dan petaka kehidupan. Daya tahan itu tampak bukan hanya pada waktu kesulitan, masalah lahiriah tapi juga batin (Hewitt, 2003).
Lindley, dkk (1997), ciri-ciri individu yang memiliki daya tahan terhadap stres adalah kemampuan mengatur waktu, menghindari kemudahan tugas dan kerja tampa alasan cakap dan berani berkata “tidak”, memiliki ketangguhan pribadi dan sikap siap menghadapi hal, peristiwa, dan keadaan yang dapat mendatangkan stres. Selanjutnya, Scala (2003) mengatakan ciri individu yang memiliki daya tahan terhadap stres adalah individu tersebut mampu menetapkan prioritas di dalam hidupnya, melakukan afirmasi terhadap prioritas-prioritas hidupnya, melakukan time-out bagaimana mengatasi masalah-masalah yang timbul nanti. Mampu untuk mentukan tujuan hidup yang realitas dan menentukan manajemen waktu untuk meraih kesuksesan.
Berdasarkan uraian teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri daya tahan terhadap stres adalah: pengendalian dan rasa percaya diri, keterlibatan dan rasa bertujuan, tantangan yang tidak mudah menyerah, mampu menghadapi stresor, rileks, bekerja dengan tekanan waktu relatif sedang, dapat mengatur waktu, mampu menetapkan prioritas, mampu menghadapi dan menerima masalah dengan tabah serta mampu mengatasi masalah yang akan muncul.


4. Cara Untuk Memiliki Daya Tahan Terhadap Stres
Jika daya tahan diri dapat melindungi orang dari stres dan mencegahnya, lalu bagaimana caranya untuk bertahan ketika menghadapi stres itu sendiri? Daya tahan terhadap stres bukan suatu hal yang dapat dicapai sebagai suatu tujuan yang merupakan hal yang berdiri sendiri, melainkan sebagai akibat dari pengalaman, pendidikan dan juga gaya hidup. Maka dalam ketiga hal inilah seseorang dapat berbuat sesuatu bila individu tersebut hendak mengembangkan ketangguhan diri, Hardjana (1994).

a. Pengalaman
Pengalaman untuk menguji kemampuan seseorang, sejauh mana dia sungguh-sungguh mengetahui hal yang diarasakan tahu. Misalnya, pengalaman menguji kecakapan seseorang seberapa cakap dia dalam hal tertentu itu. Atau juga pengalaman untuk menguji kemampuan seseorang, sejauhmana ia sanggup dan mampu mengatasi kesulitan dan memecahkan masalah. Akhirnya pengalaman untuk menguji daya tahan dan ketabahan seseorang untuk menderita dapat menciptakan ketangguhan seseorang untuk menderita dapat menciptakan ketangguhan dan ketahanan pribadi.

b. Pendidikan.
Pengetahuan yang diperoleh lewat pendidikan menambah ketangguhan pribadi dan daya tahan diri. Dengan tahu, seseorang dapat mengendalikan dan mengatur jalannya hal, peristiwa, perilaku orang dan keadaan. Karena mampu mengendalikan, dia dapat menanggulangi dampaknya, antara lain stres. Pengetahuan adalah kekuasaan. Dan pengetahuan itu diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal.

c. Kegiatan hidup.
Terlibat dalam kehidupan masyarakat menambah pengalaman, melatih pengetahuan, menguji kecakapan dan kemampuan dan menggembleng ketangguhan seseorang. Banyak latihan yang diperoleh melalui keterlibatan dalam masyarakat. Karena perkembangan berbagai kemampuan itu, seseorang juga semakin mampu menangani dan mengelola masalah hidup individu pada umumnya dan stres pada khususnya.
Mahsun (2004) menyatakan cara memiliki daya tahan terhadap stres adalah:
a. Memandang perubahan sebagai tantangan dan unsur normal dalam kehidupan.
b. Melihat masalah sebagai hal yang sementara dan bisa dipecahkan.
c. Memiliki kendali atas keadaan mereka
d. Mengambil tindakan untuk memecahkan masalah yang muncul.
e. Memiliki dan memelihara komitmen kepada keluarga dan teman-teman mereka.
f. Berperan serta secara teratur dalam aktivitas untuk relaksasi dan untuk bergembira.
Gunadi (2006) menyatakan cara memiliki daya tahan terhadap stres adalah:
a. Memandang lingkungan dan realitas disekitar secara lebih utuh dan realistis misalnya tidak membesar-besarkan ancaman, tidak menghantui atau menakut-nakuti diri sendiri.
b. Berpikir secara rasional dan lebih sehat didalam menghadapi kegagalan, peristiwa yang menyenangkan yang dialami dan sebagainya. Cara berpikir yang rasional berarti kita tidak menyalahkan diri sendiri dengan menambahkan pikiran-pikiran negatif kedalam diri sendiri.
c. Mempunyai kehidupan rohani yang baik, banyak memberi kita pandangan yang sehat dan cara-cara yang baik dalam menghadapi situasi disekitar individu yang tidak selalu baik.
Selanjutnya Galbraith (2003) cara untuk memiliki daya tahan terhadap stres adalah:

a. Mengembangkan sikap yang lebih sehat.
Orang yang mampu membentuk sikap positif terhadap lingkungannya memiliki kemungkinan untuk hidup lebih baik dan tetap survive. Struktur kepercayaan individu menjadi landasan dasar bagi mekanisme pertahanan diri seseorang. Akan tetapi bukan berarti individu menolak adanya krisis atau fakta adanya stresor. Namun sebaliknya, anda mengenal krisis itu, memahami dan menyikapinya secara tepat. Menghadapi krisis berarti harus mampu menanganinya menerima sikap kritis sewajarnya saja tanpa kehilangan daya nalar untuk mengatasinya, individu itu harus tetap bersifat objektif.

b. Tindakan positif
Menangani stres mensyaratkan adanya tindakan positif. Dengan bersifat positif terhadap diri sendiri, maka stres akan lebih mudah untuk diatasi bila individu dalam kondisi vitalitas tinggi. Hidup akan tampak lain apabila individu dalam keadaan sehat dan bersikap positif. Manakala stres muncul maka dengan mudah mengatasinya dengan energi kreatif dengan kejernihan pikirannya.
Berdasarkam uraian-uraian diatas dapat disimpulkan cara memiliki daya tahan terhadap stres adalah, didapat dari pengalaman, pendidikan, kegiatan hidup dalam masyarakat, memandang perubahan sebagai tantangan dan unsur normal dalam kehidupan, melihat masalah sebagai hal yang sementara dan bisa dipecahkan, merasa memiliki kendali atas keadaan mereka, berperan serta secara teratur dalam aktivitas relaksasi dan untuk bergembira serta mengembangkan sikap yang lebih sehat dengan memiliki kehidupan rohani yang baik dan melakukan tindakan yang positif. Daya tahan diri merupakan suatu bentuk pencegahan terhadap stres yang dihadapi oleh setiap orang. Oleh karena itu perlulah dimiliki oleh setiap orang. Dengan demikian, individu itu dijauhkan dari stres dan bila dihadapkan pada stresor individu itu mampu menghadapinya dan menanganinya dengan baik.

B. Berpikir Positif
1. Pengertian Berpikir Positif
Individu yang berpikir positif akan melihat segala sesuatu yang dihadapi atau diamati dari segi positif dan membiarkan pikirannya berproses secara positif yang kemudian mempengaruhi sikap dan perilaku menjadi positif. Marhiyanto (1987) menyebutkan bahwa berpikir positif merupakan pikiran yang menghasilkan konsep sehat, rasional dan intelektual, didasarkan fakta, selalu mesti ada jawaban pemecahannya. Individu yang berpikir positif adalah seorang pemikir yang tidak membiarkan dirinya menjadi pengecut tetapi yang sanggup merubah diri menjadi pahlawan-pahlawan dari kepribadian yang lemah menjadi manusia yang bersemangat baja, yang percaya akan diri sendiri.
Menurut Peter E. Makin dkk (dalam mengatasi stres secara positif) mengatakan bahwa berpikir positif adalah cara membuat hidup lebih positif, yakni cara melihat sesuatu yang lebih memberi dukungan pada diri sendiri. Berpikir positif lebih melihat pada cara individu itu menilai kembali sesuatu dengan melihat segi-segi positifnya. Sedangkan Goldman (1991), mengatakan berpikir positif adalah memandang setiap persoalan yang dihadapi mudah. Berpikir positif artinnya memudahkan semua masalah, berpikir positif berarti juga tidak memikirkan soal-soal kecil, tidak berpikir hal-hal yang remeh, tidak memikirkan sesuatu yang belum terjadi, tidak memikirkan yang belum pasti, tidak melamun, tidak menghayal. Berpikir positif berarti memandang segala sesuatu dari segi positif, dari sisi yang menguntungkan dan dari sisi yang akan menimbulkan rasa senang.
Ventrella (2002) mengatakan berpikir positif adalah kemampuan kita yang merupakan pembawaan dari lahir untuk mendapatkan hasil-hasil yang diinginkan dengan berpikir positif. Mampu mengambil pilihan-pilihan yang kreatif, serta mampu dan berani untuk menghadapi permasalahan yang menghadang.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa berpikir positif merupakan kecenderungan berpikir pada seseorang untuk lebih memusatkan perhatian pada hal-hal yang positif dari keadaan diri, orang lain maupun masalah yang sedang dihadapi. Dimana individu yang berpikir positif tidak akan mudah putus asa, memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimis, rasional dan intelektual, percaya akan diri sendiri, tidak berpikir hal-hal yang belum terjadi, belum pasti, belum tentu, tidak melamun dan menghayal akan tetapi lebih memikirkan dari sisi yang menyenangkan dan menguntungkan.

2. Ciri-Ciri Berpikir Positif
Albrecht (1999), mengatakan bahwa individu yang berpikir positif adalah individu yang sering berbicara tentang sukses dari pada kegagalan, cinta dari pada kebencian, kebahagiaan dari pada kepedihan, persahabatan daripada permusuhan, rasa percaya diri daripada rasa takut, kepuasan daripada ketidakpuasan,serta bagaimana memecahkan masalah.
Peale (1977), mengatakan ciri-ciri individu yang berpikir positif adalah sebagai berikut:
a. Percaya kepada diri sendiri
b. Melakukan pembaharuan pikiran
c. Mengisi pikiran dengan pikiran kreatif dan sehat.
d. Berbicara dengan lembut agar menciptakan suasana damai.
Ventrella (2002), menyatakan bahwa orang yang memiliki ciri-ciri berpikir positif adalah sebagai berikut:
a. Optimisme, suatu keyakinan atau ekspektasi akan hasil-hasil positif, bahkan dalam menghadapi kesulitan, tantangan atau krisis
b. Antusiasme, memiliki tingkat minat yang tinggi, energi positif, gairah, atau motivasi pribadi.
c. Keyakinan, mempercayai diri sendiri, orang lain, dan kekuatan spritual yang lebih tinggi untuk memberi dukungan dan petunjuk ketika diperlukan
d. Integritas, bertindak berdasarkan komitmen pribadi untuk kejujuran, keterbukaan dan keadilan hidup dengan standard seseorang.
e. Kepercayaan diri, merasa yakin secara pribadi oleh kemampuan, kapasitas dan potensi seseorang.
f. Keuletan, usaha tidak kenal lelah untuk suatu tujuan, maksud, atau sebab.
g. Kesabaran, kesedian menunggu kesempatan, kesediaan, atau hasil dari orang lain.
h. Ketenangan, mempertahankan ketenteraman dan keseimbangan sehi-hari dalam menghadapai kesulitan, tantangan, atau krisis, menyediakan waktu untuk berefleksi dan berpikir.
i. Keberanian, kemauan untuk mengambil resiko dan mengatasi rasa takut, bahkan ketika hasilnya tidak pasti.
j. Fokus, perhatian yang diarahkan melalui penetapan tujuan dan prioritas.

Selanjutnya Dave (dalam Haryono,2000), menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang berpikir positif adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai kebiasaan bertindak, dimana individu menunjukan adanya usaha untuk mengejar prestasi, mempunyai banyak keinginan dan segera mengerjakannya.
b. Optimis dan rasional, menunjukan keinginan yang keras dan rasa percaya pada diri sendiri.
c. Mempunyai keyakinan dan keinginan yang kuat
d. Rajin dan penuh ambisi, dimana individu adalah orang yang kreatif, tidak membiarkan waktu kosong dan memiliki kemauan yang keras.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang berpikir positif akan menunjukan ciri-ciri sebagai berikut yaitu, percaya pada diri sendiri, melakukan pembaharuan pikiran, mengisi pikiran dengan pikiran kreatif dan sehat, individu yang optimis, antusiasme, kesabaran, ketenangan, keberanian, fokus, rasional, yang sering berbicara sukses, mempunyai kebiasaan bertindak, mempunyai keyakinan dan keinginan yang kuat, rajin dan penuh ambisi dan hidup penuh dengan rasa kasih sayang, menghormati dan suka menolong.

3. Cara Berpikir Positif
Menurut Peale (1977), cara berpikir positif adalah suatu bentuk berpikir yang biasanya berusaha memberikan hasil yang terbaik dari keadaan yang terburuk, mencari sesuatu yang bisa diandalkan. Cara berpikir positif menanggapi segala kejadian dengan menyadari adanya segi baik dan buruk dalam kehidupan ini. Peter dan Lindley (1994), membagi lima langkah cara berpikir positif yaitu sebagai berikut:
a. Akuilah prestasi anda
b. Pandanglah suatu hal secara khusus, jangan disamaratakan.
c. Pandang secara realistis kemungkinan kekhwatiran anda menjadi kenyataan.
d. Bayangkan skenario terburuk yang mungkin tejadi
e. Lakukanlah sebaik-baiknya dan terimalah bagaimanapun hasilnya.
Marcus (dalam Pater dan Lindley, 1994) Menyatakan beberapa cara berpikir positif yaitu:
a. Arahkan pikiran kepada sesuatu yang pasti.
b. Jangan terlalu banyak berharap dengan berpikir positif.
c. Berkonsentrasi pada apa yang benar bukan yang salah
d. Bertanyalah pada diri anda mengapa hal ini membuat saya khwatir?
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cara berpikir positif adalah suatu bentuk berpikir yang biasanya berusaha mencari yang terbaik, menanggapi segala kejadian dengan menyadari ada segi baik dan buruk, akuilah prestasi anda, pandang suatu hal secara khusus jangan disamaratakan, bayangkan skenario yang terburuk yang mungkin terjadi, lakukan sebaik-baiknya dan terimalah bagaimanapun hasilnya, berkonsentrasi pada apa yang benar bukan yang salah, bertanya pada diri anda mengapa hal ini membuat saya khwatir, menolak untuk menyerah, memandang secara realistis, berkonsentrasi dan mengarahkan kepada sesuatu yang pasti.

C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Piaget (dalam Harlock, 1991) mengatakan secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dan dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Monks, dkk (1984) mengatakan bahwa remaja adalah dimulai pada usia dua belas tahun sampai dua puluh satu tahun. Selanjutnya untuk remaja Indonesia menggunakan batas usia sebelas tahun sampai dua puluh empat tahun dan belum menikah.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpukan bahwa batas usia remaja sekitar 12 tahun sampai 21 tahun. Dalam penelitian ini usia yang akan diteliti adalah remaja yang berusia 15 sampai 18 tahun karena pada usia ini remaja mulai menunjukan perwujudan diri yang nyata.

2. Ciri-ciri Masa Remaja
Harlock (1990) masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan masa sebelumnya yaitu:
a. Masa Remaja Sebagai Periode Yang Penting
Kendatipun semua periode dalam rentan kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka panjang. Perkembangan fisik yang cepat dan disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat terutama pada awal masa remaja. Semuanya perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan
Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu yang mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah bergeser.
Dalam setiap periode peralihan, status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Jadi pada masa ini status remaja tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang sesuai dengan dirinya.
c. Masa Remaja Sebagai Periode Perubahan.
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Beberapa perubahan yang terjadi pada masa ini adalah:
1. Meningkatnya emosi, yang intensitasnya yang bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.
2. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
3. Dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang pada masa kanak-kanak dianggap penting, sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi
4. Sebagian besar remaja bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

d. Masa Remaja Sebagai Usia Bermasalah
Pada setiap periode memiliki masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Hal ini terjadi karena sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam menyelesaikan masalah. Selain itu karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka mengatasi masalahnya sendiri, sehingga mereka menolak bantuan orang tua dan guru dalam menyelesaikan masalahnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja ahirnya menemukan penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.
e. Masa Remaja Sebagai Mencari Identitas
Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Namun pada akhirnya remaja mulai mencari identitas diri dan tidak puas lagi menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya. Salah satu cara untuk mencoba untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian dan pemilikan barang-barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dapat dipandang sebagai individu, sedangkan pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan.
Adanya stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan perilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Sementara ini juga mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri. Dengan adanya stereotip ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua dan antara orang tua dan anak terjadi jarak yang menghalangi anak meminta bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai permasalahannya.
g. Masa Remaja Sebagai Masa Tidak Realistis
Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana ia inginkan dan bukan sebagai mana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistis ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi bagi keluarga dan teman-temannya, yang menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Remaja akan sakit hati dan kecewa apa bila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak berhasil mencapai tujuan yang di tetapkannya sendiri.

h. Masa Remaja Sebagai Ambang Masa Dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah meninggalkan stereotip belasan tahun dan memberikan kesan bahwa mereka sudah dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belum cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagi periode perubahan, masa remaja sebagai usia bermasalah, masa remaja sebagai mencari identitas, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, masa remaja sebagai masa tidak realistis, masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan kepada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak. Akibatnya, hanya sedikit anak laki-laki atau perempuan yang dapat menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut selama awal masa remaja, apalagi mereka yang matangnya terlambat.
Havigurst (dalam Harlock, 1991) Menyebutkan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut:
a. Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman sebayanya, baik teman sejenis maupun lawan jenis.
b. Dapat menjalankan peran sosial menurut jenis kelamin masing-masing.
c. Menerima kenyataan jasmaniah serta menggunakannya seefektif-efektifnya dengan perasaan puas.
d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya.
e. Mencapai kebebasan ekonomi.
f. Memilih dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan atau jabatan.
g. Mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan dan hidup berumah tangga.
h. Mengembangkan kecakapan intelektual serta konsep-konsep yang diperlukan untuk kepentingan hidup bermasyarakat.
i. Memperlihatkan perilaku yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan.
j. Memperoleh sejumlah norma-norma sebagai pedoman dalam tindakan-tindakannya dan sebagai pandangan hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas remaja adalah mencapai hubungan sosial yang lebih matang, dapat menjalankan peran sosial sesuai jenis kelamin masing-masing, mencapai kebebasan emosional dari orang tua, mencapai kebebasan ekonomi, memilih dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan, mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan, memgembangkan kecakapan intelektual, memperlihatkan perilaku yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan, dan memperoleh sejumlah norma-norma sebagai pedoman dalam tindakannya.

4. Masalah Yang Dihadapi Remaja.
Masa remaja adalah sebagai periode “badai dan tekanan” yaitu satu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena remaja laki-laki dan perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru (Harlock,1991).
Pada masa remaja banyak perubahan-perubahan yang meliputi berbagai segi kehidupan, baik secara fisik, psikis maupun sosial. Menurut Cole, (dalam Jersild,1994) masalah yang dihadapi remaja antara lain:
a. Masalah yang berhubungan dengan perkembangan dan kesehatan.
b. Masalah yang berhubungan dengan emosi.
c. Masalah yang berhubungan dengan perubahan sosial
d. Masalah yang berhubungan dengan minat pada remaja.
e. Masalah yang berhubungan dengan moral.
f. Masalah tentang seks dan perilaku seks.
g. Masalah yang berhubungan dengan perubahan kepribadian
h. Masalah yang berhubungan dengan keluarga.
Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut ada remaja yang dapat memecahkan sendiri dan ada juga yang memerlukan bimbingan. Bimbingan itupun seharusnya dilakukan secara persuasif, oleh karena pada periode remaja sangat dipengaruhi oleh factor-faktor emosional yang sangat kuat. Tanpa adanya bimbingan yang benar akan terjadi kesulitan dalam hubungan dengan orang tua, tetangga, teman-teman dan guru sekolah. Para remaja biasanya mengharapkan bimbingan itu dating dari orang tua sebagai tokoh ideal mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah yang dihadapi oleh remaja adalah ketegangan emosi, masalah yang berhubungan dengan perkembangan dan kesehatan, masalah yang berhubungan dengan perubahan sosial, masalah yang berhubungan dengan minat remaja, masalah yang berhubungan dengan moral, masalah tentang seks dan perilaku seks, masalah yang berhubungan dengan perubahan keperibadian dan keluarga.


D. Jenis Kelamin

1. Pengertian Jenis kelamin
Sarwono (2006) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah karakteristik khusus yang yang membedakan individu pria dengan individu wanita. Oleh karena bentuk jasmani yang berbeda antara pria dan wanita, maka eksistensi dan sifat-sifatnyapun berbeda. Perbedaan-perbedaan ini akan tetap ada, walaupun struktur-struktur sosial di dunia dan tradisional berubah.
Selanjutnya Sholihah (2006) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat dan fungsi biologis antara laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan. Zalbawi (dalam Ramlah, 2006) juga menyatakan jenis kelamin adalah atribut sosial yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki biasanya digambarkan mempunyai sifat maskulin, keras, rasional dan gagah, sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminism, lemah, perasa, sopan dan penakut.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin adalah kareteristik yang membedakan individu berdasarkan kelahiran dan konstitusi fisiknya yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

E. Hubungan Antara Berpikir Positif Dengan Daya Tahan Terhadap Stres
Remaja dari generasi ke generasi mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Justru perubahan-perubahan ini menjadikan penelitian terhadap remaja menjadi sesuatu hal yang menarik. Mempelajari remaja dan mengerti persoalan remaja merupakan sumbangan yang berarti bagi segi kehidupan masyarakat dan bangsa. Adanya perubahan-perubahan dalam kehidupan memerlukan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan tersebut. Ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi, hal ini dapat menimbulkan stres.

Cridder, dkk (1983) mengatakan individu yang mengalami stres akan memberikan respon-respon baik yang bersifat emosional (munculnya perasaan cemas, depresi, takut, sedih dan sebagainya) gangguan pada fungsi pikir (gangguan dalam konsentrasi, berpikir dan mental image), dan gangguan aktifitas fisiologis (seperti sakit kepala, mulut terasa kering, tubuh terasa lemas, nafas sesak, dada terasa sesak dan sebagainya)

Individu yang cenderung berpikir positif, rasional dan optimis akan lebih mampu menghadapi stresor dan tidak mudah mengalami stres (Hardjana, 1994).

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada siswa-siswi SMU Methodist Pematang Siantar menunjukan adanya hubungan yang sangat signifikan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres.

Menurut Peale, (1997) Dengan berpikir positif terhadap keadaan yang menyenangkan akan membuat seseorang melihat keadaan tersebut secara rasional, tidak mudah putus asa ataupun menghindar dari keadaan tersebut dan akan mempunyai mental yang kuat, yang akan membantunya dalam menghadapi stresor kehidupan.

Dengan demikian, dari uraian diatas dapat diketahui bahwa reaksi individu terhadap masalah-masalah kehidupan atau tekanan yang dialaminya sangat ditentukan oleh cara pandang atau cara berpikir terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami. Maka dapat disimpulkan ada hubungan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres pada remaja


E. Hipotesis.

Dengan pendekatan dan landasan teori yang telah diuraikan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:

“Ada hubungan yang positif antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres pada siswa-siswi SMU Negeri 1 Tiga Panah. Dengan asumsi semakin tinggi siswa-siswi dalam berpikir positif maka semakin tinggi daya tahan terhadap stres. Sebaliknya semakin rendah siswa-siswi dalam berpikir positif maka semakin rendah daya tahan terhadap stress”.


BAB III

METODE PENELITIAN


A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel-variabel adalah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas : Berpikir Positif

2. Variabel Tergantung : Daya Tahan Terhadap Stres

3. Variabel Moderator : Jenis Kelamin

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Sebagai mana telah disebutkan diatas variable bebas dari penelitian ini adalah berpikir positif dan variabel tergantungnya adalah daya tahan terhadap stres dan variabel moderator adalah jenis kelamin, maka yang menjadi defenisi operasionalnya adalah sebagai berikut:

1. Daya Tahan Terhadap Stres

Daya tahan terhadap stres adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menolak, melawan, mengabaikan, serta menyerang stresor yang mengancam kehidupanya.

2. Berpikir Positif

Berpikir positif adalah sebuah pemusatan pikiran dan perhatian atau memandang segala sesuatu dari sisi positif, dalam arti individu tidak mudah putus asa, memusatkan perhatian kepada kesuksesan, optimis, menjauhkan diri dari penyesalan dan frustasi, rasional dan intelektual, percaya akan diri sendiri.

3. Jenis Kelamin.

Jenis kelamin adalah karateristik yang membedakan individu berdasarkan kelahiran dan konstitusi fisiknya yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian ini subjek yang digunakan adalah siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Untuk mengungkap jenis kelamin dilihat melalui dokumentasi.


C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


1. Populasi

Dalam suatu penelitian masalah populasi dan sampel yang dipergunakan merupakan salah satu faktor penting yang harus dipertahankan. Populasi adalah seluruh objek yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah subjek atau individu yang memiliki sifat yang sama (Hadi, 1991) Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah dengan jumlah populasi 400 orang.


2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Hadi (1991), Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi yang diteliti dan setidaknya memiliki satu sifat yang sama. Hasil penelitian terhadap sampel diharapkan dapat digeneralisasikan kepada seluruh populasi. Generalisasi adalah kesimpulan penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi populasi (Arikunto, 1996). Selanjutnya menurut Hadi (1991) syarat utama agar dapat dilakukan generalisasi adalah bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian harus dapat mencerminkan keadaan populasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah yang diambil dari kelas XI dan kelas XII. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu pemilihan sampel yang dilakukan mengambil sampel bukan berdasarkan atas strata, klaster atau daerah tetapi berdasarkan atas adanya tujuan tertentu (Hadi, 1991), yaitu untuk melihat “Hubungan Antara Berpikir Positif Dengan Daya Tahan Terhadap Stres Pada Siswa/I SMA Negeri 1 Tiga Panah.”

Adapun ciri-ciri sampel dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah, yang tidak pernah tinggal kelas dan pindahan.

b. Siswa-siswi merupakan kelas XI dan kelas XII

c. Berusia 16-18 tahun

d. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan


D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala psikologi dan dokumentasi. Arikunto (2006) mengatakan bahwa skala adalah sejumlah pertanyaan yang tertulis yang digunakan dalam memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan pribadi atau hal yang diketahuinya. Menurut Hadi (1991) ada beberapa anggapan yang dipegang oleh peneliti dalam metode ini, yaitu:

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.

2. Apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan subjek yaitu pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud peneliti.

Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala daya tahan terhadap stress dan skala berpikir positif.

1. Skala Daya Tahan Terhadap Stres

Skala daya tahan terhadap stress disusun berdasarkan ciri-ciri daya tahan terhadap stres yang ditemukan oleh Hardjana (1994) adapun ciri-ciri daya tahan terhadap stres adalah:

a. Pengendalian dan rasa percaya diri yaitu, merasa mampu mengendalikan dan mengatur diri, hidup dan lingkungannya, serta secara aktif mempengaruhi lingkungan, mampu mengatasi kesulitan dan memecahkan masalah-masalah hidupnya, memiliki pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan kekuatan untuk menghadapi tantangan.

b. Keterlibatan dan rasa bertujuan yaitu, hidup yang penuh dengan arah, keyakinan dan gairah, ikut serta dalam kegiatan masyarakat baik formal maupun non formal.

c. Tantangan yaitu, tidak mudah menyerah, mundur atau putus asa, memiliki kekuatan untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah atau tantangan yang dihadapi.


2. Skala Berpikir Positif

Skala berpikir positif disusun berdasarkan ciri-ciri individu yang berpikir positif yang dikemukan oleh Dave (dalam Haryono, 2000). Ciri-ciri individu yang berpikir positif terdiri dari empat aspek:

1. Mempunyai kebiasaan bertindak

2. Optimis dan rasional

3. Mempunyai keinginan dan keyakinan yang kuat untuk berhasil dan bahagia.

4. Rajin dan penuh ambisi

Kedua skala diatas daya tahan terhadap stres dan berpikir positif disusun berdasarkan skala Likert dengan empat alternatif pilihan jawaban dengan membuat aitem-aitem yang mendukung pertanyaan (Favourable), dan aitem yang tidak mendukung (Unfavourable).

Kriteria penilaian untuk item favourable berdasarkan skala Likert ini adalah nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Setuju (S), dan nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS). Sedangkan untuk item Unfavorable, adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Setuju (S), dan nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS).


3. Dokumentasi

Arikunto (2006) menyatakan dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Dalam penelitian ini data-data yang akan diambil dari metode dokumentasi adalah nama subjek, usia, kelas, alamat siswa-siswi dan alamat orang tua.


E. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur

Suatu alat pengukur data dapat dikatakan baik adalah apabila alat ukur tersebut valid dan reliable.

a. Validitas

Merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah alat ukur. Validitas memberi kita tentang apa yang bisa kita simpulkan dari data-data yang dikumpulkan. Proses validitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana butir soal menjalankan fungsi ukurnya, akan menghasilkan, hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukan pengukuran tersebut.

Secara singkat validitas mempunyai arti sejauh mana ketetapan (mengukur apa yang hendak diukur) Anastasi, (1997)

Selanjutnya Hadi (1997), Mengatakan validitas alat ukur adalah sejauh mana alat ukur dapat membaca dengan teliti, mewujudkan dengan sebenarnya status atau gejala yang hendak diukur. Uji validitas dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik koefesien alpha Cronbach karena terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat dan digunakan dalam program SPSS 12.0 for Windows.

b. Reliabilitas

Reliabilitas mengacu kepada konsistensi hasil ukur yang dicapai orang yang sama ketika mereka diuji dengan alat ukur yang sama pada waktu yang berbeda (Anastasi, 1997). Reliabilitas memungkinkan memperkirakan berapa proporsi dari varian total data-data yang merupakan varian kesalahan.

Reliabilitas dari suatu alat ukur diartikan sebagai konsistensi dari alat ukur yang pada prinsifnya menunjukan hasil-hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Azawar, 1992). Reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dicari dengan menggunakan teknik koefesien alpha dari Cronbach, karena terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat dan digunakan dalam program SPSS 12.0 for Windows.


F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dapat digunakan untuk persiapan hipotesis dalam penelitian ini adalah teknik korelasi product moment Karl Person. Alasan digunakannya teknik korelasi product moment ini adalah di karenakan penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat hubungan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres pada siswa-siswi SMA adapun rumusnya sebagai berikut:




Sebelum dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik product moment maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yaitu:

1. Uji normalitas sebaran, yaitu untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-masing variabel telah menyebar secara normal. Uji normalitas ini menggunakan teknik uji kolmograv smirnovz.

2. Uji linieritas, yaitu untuk mengetahui apakah data dari variabel X memiliki hubungan linier dengan variabel Y. uji linier ini menggunakan teknik Interractive Graph yang menghasilkan diagram pencar (Scatter Plot)

Seluruh data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan bentuk program SPSS (Statistical Package For Social Sciences) 12.0 for Windows.


BAB IV

LAPORAN PENELITIAN


A. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Tiga Panah yang beralamat di jalan Tiga Panah No. 121 Tiga Panah, kecamatan Tiga Panah, kabupaten Karo. SMA ini berdiri sejak tahun 1991 dengan status sebagai Sekolah Negeri dengan Nomor Statistik Sekolah 301070304024. Sekolah ini memiliki 73 tenaga pengajar. SMA Negeri 1 Tiga Panah saat ini dipimpin oleh Bapak Drs. Benar Kaban.

SMA Negeri 1 Tiga Panah memiliki fasilitas sebagai berikut :

Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 30981/ . Sarana dan Prasarana yang tersedia adalah ruang belajar yang terdiri dari kelas X ada 7 kelas, Kelas XI ada 6 kelas, kelas XII ada 6 kelas, kantor guru, kantor BP, kantor tata usaha, kantor kepala sekolah, perpustakaan, lab praktikum IPA, lab komputer, Lab bahasa, lapangan bola kaki, bola voli dan badminton, kantin dan lapangan parkir.


B. Persiapan Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan maka terlebih dahulu dilakukan persiapan-persiapan yang meliputi persiapan administrasi, persiapan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Persiapan Administrasi

Sebelum penelitian dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti melakukan persiapan-persiapan yang berkaitan dengan administrasi penelitian yaitu masalah perizinan yang meliputi izin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Medan Area. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan menghubungi secara informal pemimpin sekolah SMA Negeri 1 Tiga Panah, namun setelah dihubungi maka pihak sekolah menyarankan meminta izin dari Dinas Pendidikan Karo terlebih dahulu. Setelah disarankan peneliti menghubungi bagian tata usaha Fakultas Psikologi Universitas Medan Area, guna permohonan izin mengadakan penelitian, selanjutnya peneliti mengurus sutar perizinan untuk melakukan penelitian yang ditujukan dari Fakultas Psikologi Universitas Medan Area yang ditujukan kepada Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Karo, setelah menyampaikan surat penelitian ke Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Karo, Maka Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Karo mengeluarkan surat izin penelitian di SMA Negeri 1 Tiga Panah dan surat ini yang peneliti serahkan kepada Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Tiga Panah Bapak Drs. Benar Kaban. Surat-surat izin penelitian dapat dilihat pada lampiran halaman

2. Persiapan Alat Ukur Penelitian.

Selama mempersiapkan surat izin untuk penelitian, peneliti juga mempersiapkan alat-alat yang digunakan dalam penelitian. Alat-alat tersebut berupa 2 (dua) skala, yang terdiri dari skala berpikir positif dan skala daya tahan terhadap stres. Skala ini dibuat sendiri oleh peneliti setelah ada persetujuan dari Dosen Pembimbing II dan Pembimbing I, selanjutnya kedua skala tersebut diperbanyak dan dilakukan uji coba alat ukur. Adapun alat ukur yang digunakan adalah:

a. Skala Daya Tahan Terhadap Stres

Skala daya tahan terhadap stres berjumlah 60 butir, skala daya tahan terhadap stres dikembangkan peneliti berdasarkan ciri-ciri daya tahan terhadap stres yang dikemukakan oleh Hardjana (1994) yaitu:

1. Pengendalian dan rasa percaya diri

2. Keterlibatan dan rasa bertujuan

3. Tantangan

Tabel I

Penilaian yang digunakan untuk skala daya tahan terhadap stres disusun berdasarkan skala Likert dengan empat alternatif pilihan jawaban dengan membuat aitem-aitem yang mendukung pertanyaan (Favourable), dan aitem yang tidak mendukung (Unfavourable).

Kriteria penilaian untuk item favourable berdasarkan skala Likert ini adalah nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Setuju (S), dan nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS). Sedangkan untuk item Unfavorable, adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Setuju (S), dan nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS).

b. Skala Berpikir Positif

Skala Berpikir positif berjumlah 80 butir, skala berpikir positif di susun berdasarkan ciri-ciri berpikir positif yang dikemukakan oleh Dave (dalam Haryono,2000) yaitu:

1. Mempunyai kebiasaan bertindak

2. Optimis dan rasional

3. Mempunyai keinginan dan keyakinan yang kuat untuk berhasil dan bahagia.

4. Rajin dan penuh ambisi.


Tabel II

Penilaian yang digunakan untuk skala berpikir positif disusun berdasarkan skala Likert dengan empat alternatif pilihan jawaban dengan membuat aitem-aitem yang mendukung pertanyaan (Favourable), dan aitem yang tidak mendukung (Unfavourable).


Kriteria penilaian untuk aitem favourable berdasarkan skala Likert ini adalah nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Setuju (S), dan nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS). Sedangkan untuk item Unfavorable, adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Setuju (S), dan nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS).

3. Pelaksanaan Uji Coba Alat Penelitian

Pelaksanaan uji coba dilakukan pada tanggal 17 September 2008 terhadap siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah. Pada pelaksanaan uji coba ini skala berpikir positif dengan daya tahan terhadap stress di jadikan satu bundel, yang berjumlah 44 bundel dengan jumlah siswa-siswi 44 orang diberikan kepada 22 orang kelas XI (kelas IPA1) yang sesuai dengan keriteria sampel. Jumlah skala yang dibagikan 22 dan kembali seluruhnya. Pada siswa-siswi kelas XII (kelas IPS1) diberikan 22 skala dan seluruhnya kembali. Dari 44 skala yang disebar 4 skala gugur, sehingga jumlah skala yang dipakai sebagai uji coba ada 40 skala.

Uji coba skala ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menguji apakah pernyataan yang telah disusun dapat dimengerti oleh subjek, dan juga mengetahui validitas dan reliabilitas (Azwar,1988). Data hasil uji coba kemudian diolah untuk mengetahui validitas dan reliabilitas dari alat ukur tersebut. Pengolahan dilakukan menggunakan program komputer SPSS versi 12.0 for Windows.


4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Dari hasil ujicoba alat ukur untuk menentukan uji validitas dan uji reliabilitas alat ukur dan berdasarkan hasil analisis dari data penelitian maka berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian tersebut.

1. Hasil Uji Coba Daya Tahan Terhadap Stres

a. Hasil uji validitas

Berdasarkan perhitungan validitas diketahui bahwa dari 60 butir aitem yang diuji cobakan 16 butir dinyatakan gugur. Penyebaran butir tersebut dilihat pada taraf signifikan P>0,050 sedang butir yang valid sebanyak 44 butir yaitu 19 butir favourable dan 25 butir unfavourable. Nilai koefesien korelasi butir bergerak dari rxy = -0,069 sampai rxy = 0,768 perbandingan nilai rxy yang diperoleh dari rtable = 0,312 (untuk n = 40). Sedangkan nilai rxy dari aitem yang digunakan sebagai alat ukur penelitian bergerak dari 0,226 sampai dengan 0,797.

b. Hasil Uji Reliabilitas

Dari uji reliabilitas berdasarkan teknik koefesien alpha dari Cronbach diperoleh hasil bahwa skala daya tahan terhadap stres adalah andal (reliable) dimana perolehan angka koefesien reliabilaitas alpha dari skala daya tahan terhadap stres sebesar 0,941 lihat di reliabilitas statistik.

Reliability Statistics


Tabel III

2. Hasil Uji Coba Berpikir Positif

a. Hasil uji validitas

Berdasarkan perhitungan validitas diketahui bahwa dari 80 butir aitem yang diuji coba, 26 butir dinyatakan gugur. Penyebaran butir tersebut dilihat pada taraf signifikan P>0,050 sedang butir yang valid sebanyak 54 butir yaitu 25 butir favourable dan 29 butir unfavourable. Nilai koefesien korelasi butir bergerak dari rxy = -0,010 sampai rxy =0,752 perbandingan nilai rxy yang diperoleh dari rtable = 0,312 (untuk n = 40). Sedangkan nilai rxy dari aitem yang digunakan sebagai alat ukur penelitian bergerak dari 0,266 sampai dengan 0,746


b. Hasil Uji Reliabilitas

Dari uji reliabilitas berdasarkan teknik koefesien alpha dari Cronbach diperoleh hasil bahwa skala berpikir positif adalah andal (reliable) dimana perolehan angka koefesien reliabilaitas alpha dari berpikir positif sebesar 0,948 lihat di reliabilitas statistiks

Tabel IV

C. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 September 2008 pada siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XI dan XII. Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian ini, peneliti dibantu oleh guru BP untuk mengumpulkan murid-murid yang akan dijadikan subjek penelitian yang terdiri dari 5 kelas dengan jumlah 200 orang ( 64 laki-laki dan 136 orang perempuan), sebelum skala dibagikan kepada siswa-siswi, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian ini diadakan di SMA tersebut. Selanjutnya peneliti menjelaskan intruksi pengisian skala kepada siswa-siswi dengan lengkap dan jelas.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 skala yaitu skala berpikir positif dan skala daya tahan terhadap stres. Kedua skala ini dijadikan menjadi satu bundel. Penyebaran skala dan pengisian skala memakai waktu kurang lebih satu jam. Setelah terkumpul peneliti memeriksa keseluruhan skala, baik identitas maupun keseluruhan jawaban subjek dan diketahui bahwa subjek menjawab sesuai dengan petunjuk yang diberikan peneliti. Dari jumlah sampel penelitian, diambil 120 siswa ( pria 40 orang dan perempuan 80 orang) untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan. Data dari hasil penelitian ini kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS versi 12.0 for windows.

D. Analisis Data dan Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan 2 variabel yaitu Berpikir Positif dengan Daya Tahan Terhadap Stres.

Sebelum analisis data dilakukan terlebih dahulu dilakukan uji asumsi. Uji asumsi dilakukan untuk melihat normalitas sebaran dan uji linieritas hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung.

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas Sebaran.

Adapun maksud dari uji normalitas sebaran ini adalah untuk membuktikan apakah penyebaran data penelitian tersebut berdistribusi atau menyebar berdasarkan kurva normal. Uji normalitas sebaran ini menggunakan tekhnik uji Kolmogram smirnov (Z), dari hasil uji normalitas sebaran dari variabel daya tahan terhadap stres, diperoleh hasil sebagai berikut:

No Variabel Mean/Rerata SB P Z Sebaran

1 X 166.86 15,445 0,526 0,811 Normal

2 Y 132,17 15,004 0,077 1.278 Normal


Keterangan:

Y = Daya Tahan Terhadap Stres

X = Berpikir Positif

Z = Nilai Kolmogorov Sminrnov

P = Proporsi peluang ralat alpha (Probabiliti)

SB = Simpangan baku (standard deviasi)

Dengan demikian diproleh hasil variabel penelitian maka dapat di simpulkan bahwa variable Berpikir positif (X) dan Daya Tahan Tehadap Stres (Y) adalah dinyatakan normal, yaitu berdistribusi sesuai dengan prinsif kurva normal. Sebagai kriteriannya apabila P> 0,050 maka sebarannya dinyatakan normal dan sebaliknya apabila P< 0.050 maka sebarannya dinyatakan tidak normal ( Hadi dan Parmadyanto, 2000) perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran halaman 122 b. Uji Linieritas Uji lenieritas digunakan untuk melihat apakah variabel bebas dan variabel tergantung dapat atau tidak dianalisis secara korelasi. Hasil uji linieritas dengan menggunakan tekhnik Interaktif graph yang menghasilkan diagram pencar (scatter plot) menunjukan bahwa variabel berpikir positif mempunyai hubungan linier terhadap variabel daya tahan terhadap stres hasil diagram selengkapnya dapat dilihat pada lampiran halaman 124 2. Hasil-hasil Analisis Data 1. Hasil Pengujian Statistik Sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk melihat hubungan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres maka hipotesa yang sudah diajukan diterima yang berarti ada hubungan yang signifikan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres. Uji pengkajian statistik, dilakukan perumusan hipotesis statistik yakni: 1. Ho (Hipotesa nihil) : P<0; Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres 2. Ha (Hipotesis alternative) : P>0;

Artinya ada hubungan yang signifikan antara berpikir positif terhadap daya tahan terhadap stres.

Dari hasil pengujian statistik diperoleh korelasi sebesar 0,656 dengan P= 0,000. Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya ada hubungan yang signifikan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap Stres. Dengan demikian dapat disimpulkan Ada hubungan yang signifikan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres.

3. Hasil Perhitungan Mean Hipotetik dengan Mean Empirik

a. Mean Hipotetik Mean hipotetik adalah mean atau rata-rata skor dari jumlah butir skala yang dipakai dalam penelitian. Oleh karena itu mean ini bersifat sementara karena mengacu kepada jumlah butir bukan berdasarkan jumlah skor yang telah diperoleh subjek. Metode untuk mencari mean hipotetik adalah dengan mengalikan jumlah butir yang dipakai dalam penelitian dengan alternatif jawaban terendah dan tertinggi. Jumlah butir yang dipakai untuk melihat berpikir positif sebanyak 54 butir dengan skala Likert, maka mean hipotetiknya adalah: {(54 x 4) + (54 x 1)}: 2 = 135. Jumlah butir yang dipakai untuk melihat daya tahan terhadap stres sebanyak 44 butir yang diformat dengan menggunakan skala Likert, maka mean hipotetiknya adalah {(44 x 4) + (44 x 1)} : 2 = 110

b. Mean Empirik

Mean empirik merupakan mean rata-rata atau rata-rata yang bersifat teoritis atau sesungguhnya, yang mana mean ini mengacu kepada total keseluruhan skor subjek yang telah diperoleh dibagi dengan subjek. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, bahwa masing-masing rata-rata empirik adalah sebagai berikut, untuk variabel daya tahan terhadapap stres mean empiriknya sama dengan 132,17 dan berpikir positif mean empiriknya 166,87.

c. Kriteria.

Apa bila mean Hipotetik < Mean empirik =tinggi/besar/positif, sedangkan apabila mean Hipotetik> Mean empirik = rendah/kecil/negative. Kriteria yang dipakai untuk menentukan tinggi rendahnya kemampuan berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres adalah dengan membandingkan antara nilai-nilai empirik dengan hipotetik. Pengelompokan mengacu pada keriteria kategorisasi berdasarkan asumsi bahwa skor sampel berdistribusi normal. Skor yang diperoleh individu dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: tinggi, sedang dan rendah untuk berpikir positif dan daya tahan terhadap stres. Berikut ini tabel yang merupakan hasil perhitungan nilai rata-rata hipotetik dan nilai rata-rata empirik berpikir positif.


Dari tabel diatas dapat dilihat sebagian subjek penelitian memiliki kemampuan berpikir positif yang termasuk dalam kategorisasi sedang yaitu sebanyak 96 orang (80%). Kategorisasi sedang berarti bahwa subjek penelitian ini memiliki kemampuan berpikir positif dibanding dengan populasi secara umum.

Sedangkan kategorisasi daya tahan terhadap stres dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Dari table diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki daya tahan terhadap stres yang termasuk kategori sedang, yaitu sebanyak 95 orang (79,1%).


E. Pembahasan

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis product moment menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres pada siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah dengan korelasi product moment rxy= 0,656; P= 0,000, dengan demikian hipotesis penelitian ini diterima. Dimana terdapat hubungan positif dan signifikan antara berpikir positif dengan daya tahan terhadap stres membuktikan pendapat Hardjana (1994) yang menyatakan bahwa individu yang cenderung berpikir negatif, pesimis dan berkeyakinan irasional lebih mudah mengalami stres dari pada individu yang berpikir positif, optimis dan berkeyakinan rasional.

Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang berjiwa optimis lebih berhasil dari pada orang-orang yang pesimis. Orang yang berpikir positif lebih jarang menderita depresi dan penyakit fisik ketimbang mereka yang berpikir negatif. Orang yang berpikir positif juga menghadapi masalah-masalah yang sama seperti yang dihadapi orang-orang yang berpikir negatif, akan tetapi orang yang berpikir positif tidak dikendalikan oleh keadaan, tidak menyalahkan diri sendiri atas setiap kesalahan, karena mereka menyadari orang lain juga berbuat kesalahan. Orang yang berpikir positif akan terus berusaha dan tidak mau menyerah. (Dariuszky,2004)

Dengan berpikir positif terhadap keadaan yang tidak menyenangkan akan membuat seseorang melihat keadaan tersebut secara rasional, tidak mudah putus asa ataupun menghindar dari keadaan tersebut tetapi justru akan mencari jalan keluar. Dengan demikian orang tersebut akan mempunyai mental yang kuat, yang akan membantunya dalam menghadapi stresor kehidupan (Peale,1977)

Selanjutnya dari perbandingan mean empirik dan mean hipotetik berpikir positif (135 < 166,86) itu artinya bahwa sebagian siswa-siswi termasuk dalam kategori sedang karena 96 orang (80%) memiliki kemampuan berpikir positif. Mean empirik dan mean hipotetik daya tahan terhadap stress ( 110 < 132,15), itu artinya bahwa sebagian siswa-siswi termasuk dalam kategori sedang karena 95 0rang (79,1%) memiliki daya tahan terhadap stres.

Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat tingkat daya tahan stres antara siswa laki-laki dan perempuan, dimana setelah dilakukan pengukuran ternyata laki-laki lebih memiliki daya tahan terhadap stres dibanding dengan perempuan, dalam hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rahmat, (1989) bahwa karateristik individu yang berbeda menyebabkan tingkat stres setiap orang juga berbeda, dalam hal ini yang dimaksud dengan karateristik adalah jenis kelamin pria dan wanita. Dari hasil penelitian yang dilakukan Hasmayni, 2000 menunjukan bahwa pria lebih memiliki daya tahan terhadap stres dibanding perempuan. Hasil perbandingannya dapat dilihat pada table dibawah ini:

Jadi dapat disimpulkan bahwa berpikir positif memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap daya tahan stres, hal ini dapat dilihat dari nilai koreasi yang cukup tinggi (rxy = 0,656) dan signifikan (P<0,05).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas maka hal-hal yang dapat disimpulkan adalah:

1. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Berpikir Positif dengan Daya Tahan Terhadap Stres pada siswa-siswi SMA Negeri 1 Tiga Panah, ditunjukkan dengan nilai korelasi yang telah diperoleh dengan menggunakan analisis korelasi Product Moment rxy= 0,656 dan P= 0,000 (P< 0,05), artinya bahwa individu yang cenderung berpikir positif akan mampu menghadapi stresor yang muncul serta memiliki daya tahan terhadap stres.

2. Berdasarkan perhitungan kedua Mean diatas (mean hipotetik dan mean empirik) maka diketahui bahwa berpikir positif memiliki mean hipotetik 135 dan mean empirik 166,86 dari hasil perbandingan antara mean hipotetik dan mean empirik menunjukan bahwa secara rata-rata subjek penelitian memiliki kemampuan berpikir positif yang tinggi dibandingkan dengan populasi secara umum. Sedangkan daya tahan terhadap stres mean hipotetiknya 110 dan mean empiriknya 132 dari hasil perbandingan antara mean hipotetik dan mean empirik menunjukan bahwa secara rata-rata subjek penelitian memiliki daya tahan terhadap stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi secara umum.

3. Dari hasil penelitian ini juga terjawab bahwa tingkat daya tahan stres antara siswa laki-laki dan perempuan, dimana setelah dilakukan pengukuran ternyata laki-laki lebih memiliki daya tahan terhadap stres dibanding dengan perempuan,

B. Saran

Berdasarkan keimpulan, peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi siswa-siswi.

Pola pikir merupakan salah satu yang sangat berpengaruh bagi setiap individu dalam melihat suatu permasalahan, dimana bagi orang yang berpikir positif akan melihat segala sesuatunya berdasarkan sisi positifnya jadi ketika menghadapi suatu permasalahan itu tidak membuat dia mundur atau pesimis tetapi tetap semangat dan optimis dalam menghadapi permasalahan, sedangkan bagi orang yang berpikir negatif ini akan mundur dan tidak memiliki semangat atau keberanian dalam menghadapi permasalahan karena tidak mampu melihat satu sisi positif dari masalah itu sendiri, jadi dalam hal ini yang sering dihadapi oleh para siswa-siswi sehingga tingkat putus sekolah semakin meningkat. Oleh karena itu peneliti menyarankan kepada para siswa-siswi untuk membentuk konsep berpikir positif dengan memandang suatu permasalahan dengan positif karena dengan berpikir positif maka para siswa-siswi juga akan terbebas dari kenakalan remaja maupun pergaulan bebas yang menyebabkan masalah bagi diri sendiri. Dalam hal ini bisa dikembangkan dengan kegiatan kelompok belajar ataupun kegiatan keperamukaan ataupun Osis yang akan membentuk pola pikir siswa yang lebih positif.

2. Kepada instansi yang terkait

Dalam hal ini adalah instansi yang menangani masalah-masalah remaja (sekolah, yayasan atau lembaga sosial yang berkecimpung dengan masalah remaja, dan instansi pemerintah yang terkait), untuk membuat suatu metode yang berkaitan dengan berpikir positif. Metode ini dapat berupa seminar, diskusi dan kelompok belajar di sekolah, ataupun berupa kegiatan ekstra kurikuler yang membentuk pola pikir remaja yang positif berupa kegiatan ke peramukaan dan pembinaan keagamaan.

3. Bagi Guru BP ( Bimbingan dan Penyuluhan)

Guru BP merupakan tempat konsultasi bagi siswa, dengan mengetahui pentingnya berpikir positif ini, peneliti menyarankan supaya guru BP mampu mengenal siswanya dan masalahnya secara mendalam supaya ketika siswa menghadapi masalah di sekolah, Guru BP dapat memberikan penyelesaian yang tepat bagi siswa. Guru BP juga jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan dari suatu masalah yang dihadapi oleh siswa, apalagi sampai memojokkan atau menyalahkan siswa itu sendiri karena hal itu akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan kehidupan psikisnya. Seorang Guru BP harus mampu menjadi seorang teman atau sahabat bagi siswa yang bermasalah di sekolah, karena dengan demikian siswa yang bermasalah akan merasa aman berada di sekolah diantara teman-teman atau guru-guru yang menganggapnya tidak berguna ataupun ketika mereka mengalami suatu permasalahan mereka berani datang untuk berkonsultasi tentang masalahnya.

4. Bagi Orang Tua (Keluarga)

Keluarga merupakan lingkungan terkecil bagi remaja, oleh karena itu keluarga juga cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir anak. Dimana dalam hal ini peneliti menyarankan kepada orang tua (keluarga) supaya dapat memberikan kehangatan, rasa aman, perhatian dan menanamkan rasa taggung jawab, optimis dan nilai-nilai keagamaan kepada anak. Peneliti juga menyarankan kepada orangtua untuk tidak memaksakan kehendak kepada anak dengan memberikan tuntutan-tuntutan yang diluar kemampuan anak, misalnya dengan memberikan standard nilai yang terlalu tinggi yang harus dicapai oleh anak, tidak mengekang anak denga aturan-aturan yang membuat anak tidak dapat mengembangkan minat dan bakatnya. Jadi dalam hal ini orang tua juga diharapkan mampu mengetahui kemampuan anaknya sehingga tidak terjadi stres pada anak. karena hal-hal tersebut adalah faktor-faktor yang menghambat terjadinya stres pada anak.

5. Bagi Peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mendalami daya tahan terhadap stres, sebaiknya lebih mempersempit pembahasannya sehingga hasil yang diperoleh lebih bersifat sepesifik, sebagai contoh faktor sosial ekonomi serta melibatkan variabel-variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini, seperti tipe keperibadian, sosial budaya ataupun pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA


Abbas. 2007. Kiat Mengatasi Stres Anak. Jakarta. Restu Agung

Albercht, k. 1999. Brain Power. Daya Pikir: Dahara Prize

Anastasi dan Urbina. 1997. Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Jilid I. Jakarta. PT. Prenhallindo.


Arikunto, S.1996. Prosedur Penelitian. Jakarta Bina Aksara

2006. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta. Rineka Cipta.

Aswi. 2008. 50 Cara Ampuh Mengatasi Stres. Jakarta. Galang Pers

Bangbang. 2000. Berpikir Positif dan Negatif. Koran Republika 8 November 2000

Brecht, G.1996. Mengenal dan Menanggulangi Stres. Jakarta.

PT. Prenhallindo.

De Bone, E.1991. Pelajaran berpikir. Jakarta. Erlangga.

Galbraith. P. 2003. Meditate Rejuvenate Meditasi Hidup Tanpa Stres. Yogyakarta. Pink Books.


Godman,P.A. 1984. Stres: Menangkal stres Meraih Sukses. Fikhavi Aneska.

Gunarsa. D.S. 1993. Psikologi Praktis : Anak Remaja dan Keluarga. Jakarta. BPK. Gunung Mulia


Hardjana,M.A. 1994. Stres tanpa Distres. Yogyakarta. Kanisius

Harlock, E.B. 1990. Psikologi Perkembangan. EdisiV. Jakarta. Erlangga.

Hilgard, E.R. Akinson. R.L. Alkinson, RL. 1991. Pengantar Psikologi. Jakarta. Penerbit Erlangga.




Hasmayni, B. 2000. Perbedaan Persepsi Stres Kerja Di Tinjau Dari Jenis Kelamin Dan Tingkat Pendidikan Pada Karyawan PT. (Persero) PLN Wilayah II Simatera Utara. Skripsi (Tidak Diterbitkan. Medan : Fakultas Psikologi Universitas Medan Area)


Jersild, AT. 1994. Jangan Takut Anak Juga Bisa Stres. Majalah keluarga 8-21. Agustus 1994.


Koentjoro,E.B. 1992. Stres, Tantangan Sekaligus Ancaman. Edisi V. Jakarta. Erlangga.


Lindley, A. Patricia, dkk 1997. Mengatasi Stres Secara Positif. Jakarta PT.Gramedia Pustaka Utama.


Lubis, N. 2005. Hubungan Antara Berpikir Positif Dengan Makna Hidup Pada Pasien Penyakit Kanker Di Rumah Sakit Haji Medan. Skripsi (Tidak Diterbitkan. Medan : Fakultas Psikologi Universitas Medan Area)


Mahsun. 2004. Bersahabat Dengan Stres. Yogyakarta. Prisma Media.

Malkani.V. 2004. Stres dan Anger. Jakarta. Bhuana Ilmu Populer

Marhiyanto, B. 1987. Cara berpikir yang baik. Surabaya. CV. Bintang pelajar.

Monks, dkk. 1984. Psikologi Pengantar. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss.


Peale, V.N. 1996. Berpikir Positif. Jakarta. Bina Rupa Aksara.

Priyatno. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta. MediaKom.

Scala, J. 2003. 25 Cara Alami Mengatasi Stres dan Menghindari Kelelahan. Jakarta Prestasi Pustaka Publisher.


Santrock.J.W. 2003. Adolescence. Perkembangan remaja. Edisi VI. Jakarta. Erlangga.


Sarwono. S.W. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta. Gramedia Widiasarana Indonesia.


Suryani, E. 2006. Daya Tahan Terhadap Stres Pada Pengamen Jalanan Di Medan. Skripsi (Tidak Diterbitkan. Medan: Fakultas Psikologi Universitas Medan Area)


Ventrella, W.S. 2002. Kekuatan Berpikir Positif Dalam Bisnis. Jakarta. Prestasi Pustaka Publisher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar